Lemah,
Terbatas, dan Unik
Hukum
menyebutkan setiap individu memiiliki hak untuk mengenyam pendidikan. Indonesia
telah merdeka hampir 70 tahun! Selama 70 tahun pula telah dituliskan hak Warga
Negara Indonesia untuk mengenyam pendidikan di pasal 31 ayat (1) di UUD 1945,
setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, Ibu Kartini, yang kita rayakan hari
peringatannya pada 21 April menyadari arti penting pendidikan meski dirinya
terbatasi untuk mengenyam pendidikan. Lebih jauh lagi, sebelumnya ada tokoh
Hellen Keller yang justru dengan keterbatasan fisik, ia dapat mengenyam
pendidikan hingga wisuda pertama untuk orang difabel.
Apa
kabar pendidikan di Indonesia bagi orang yang difabel? Sebelumnya, sebutan
difabel berasal dari kata different ability
yang kemudian disingkat menjadi difable, diserap menjadi kata Indonesia
yaitu difabel. Menurut Youth for Exchange and Understand, difable persons are not disabled, but they all have various abilities
that are differently developed (yeu-international.org). Orang-orang
berkebutuhan khusus bukan orang yang tidak dapat melakukan apa-apa. Sebutan
cacat atau disable dinilai tidak
cocok karena gambar diri kita dibuat begitu indah. Mereka punya kemampuan yang
dapat dipelajari melalui proses belajar dan pengalaman (nurture).
Namun, orang berkebutuhan khusus telah dipersepsikan sebagai orang yang tidak
dapat berbuat sesuatu.
infografis tentang disabel dan difable
Jumlah Sekolah Luar Biasa di
Indonesia
Keberadaan sekolah inklusi
Pengelompokan
anak berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya berdasar Program Direktorat
Pembinaan Sekolah Luar Biasa tahun 2006 yaitu terdiri tuna netra, tuna rungu,
tuna grahita ringan, sedang, berat berdasar nilai IQ (intelligent Quotient), kesulitan belajar, indigo, autis, dan korban
penyalahgunaan narkoba. Berdasar pengelompokan anak berkebutuhan khusus ada
beberapa kelompok yang dapat ditangani di sekolah inklusi. Sekolah inklusi
yaitu sekolah reguler yang menerima anak-anak berkebutuhan khusus dengan
harapan anak berkebutuhan khusus dan anak lainnya dapat belajar menjalin
relasi. Sekolah inklusi dapat menjadi alternatif untuk membuat anak
berkebutuhan khusus dapat hidup berdampingan dengan orang sewajarnya. Sekolah
inklusi di Surabaya mencapai 285 sekolah. (Badan Pusat Statistik, 2015).
Sekolah inklusi di Yogyakarta berjumlah 554 sekolah dari tingkat TK hingga SMA
( Balai Pengembangan Pendidikan Khusus, 2015). Surabaya dan Yogyakarta
menunjukkan angka yang cukup signifikan untuk sekolah inklusi dengan harapan
daerah lain turut menambah jumlah sekolah inklusi. Angka sekolah inklusi yang semakin naik
kiranya dapat menunjang anak berkebutuhan khusus. Selain itu, semakin
bertambahnya guru-guru yang berkompeten dan berintegritas untuk mengajar. Supaya
anak berkebutuhan khusus merasa diperlakukan sama, nyaman, dan aman.
Ibu
Magdalena Pranata, koordinator perintisan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Petra menuturkan, sesama anak paling mudah untuk menjalin relasi, karena mereka belum
punya konsep. Anak berkebutuhan khusus perlu diperlakukan sama dengan anak
lainnya. Peran guru menjelaskan cara belajar tiap anak punya keunikan dan
berbeda, ada yang mandiri atau perlu ditemani orang tua. Anak berkebutuhan
khusus dapat dibimbing oleh orang tua yang ikut masuk di pembelajaran kelas.
Anak-anak yang mandiri diberi konsep bahwa tiap orang punya keunikan
masing-masing dan bagaimana bersikap sebagai teman sebaik-baiknya. Guru patut
memberi contoh dan tidak boleh membeda-bedakan murid-muridnya. Guru tidak hanya
menyampaikan materi tapi juga memberi teladan kepada muridnya.
“
Anak berkebutuhan khusus memiliki rasa kebutuhan terbesar pada rasa aman dan
dicintai. Rasa aman dan dicintai sangat penting agar mereka dapat bertumbuh
dengan optimal. Kita perlu mengerti keinginan anak berkebutuhan khusus tanpa
rasa ekspetasi,” ujar Ibu yang biasa dipanggil Ibu Magda. Eskpetasi yang
ditaruh pada anak akan membuatnya tertekan. Anak berkebutuhan khusus memiliki
kepintaran yang berbeda yang perlu dicari dengan memberi mereka banyak
kesempatan belajar yang sama pada dengan anak lainnya untuk mencoba berbagai
hal baru. Cara belajar mereka diperhatikan apakah dominan kinestetik, auditori,
visual, atau kombinasi dari ketiganya. Orang tua dan pembimbing perlu memperhatikan
apa yang menjadi fokus dari anak yang berkebutuhan
khusus.
Pengalaman mengajar di sekolah
inklusi
Ni
Kadek Defvin Setyawati, mahasiswi Universitas Kristen Petra pernah mengajar di SD
YBPK Bulusari, Kecamatan Tarokan, Kediri. Ia menceritakan pengalaman yang
didapat ketika mengajar anak berkebutuhan khusus kelas tiga SD. Menurut gadis
yang mengambil Program Studi Ilmu Komunikasi, menghadapi anak berkebutuhan
khusus perlu kesabaran lebih, berpikir lebih, supaya dapat menemukan cara yang
tepat mengajar mereka. Ia menuturkan seorang siswa berkebutuhan khusus yang
bernama Ian, kesusahan membaca, tapi ia lebih cepat memahami pelajaran
matematika. Ian perlu dibimbing membaca lebih ekstra dan fokus yang cepat
teralihkan. Defvin perlu cepat-cepat menarik perhatiannya dengan sesuatu. Ia merasa
jengkel bila ada yang menyebut kata cacat pada mereka yang berkebutuhan khusus.
Mereka juga punya kemampuan yang terlihat jelas berbeda dengan orang normal
tapi bukan berarti cacat.
Gambar
1. Defvin mengajar Ian mata pelajaran matematika. Sekolah YBPK, Bulusari,
Kediri memiliki tiga siswa berkebutuhan khusus.
Gambar
2: Ezra mengajari Brian (kanan) dan Prima. Keduanya anak berkebutuhan khusus.
Dengan memberikan kasih sayang dan rasa aman kepada ABK, mereka belajar
terbuka.
Gambar
diri anak berkebutuhan khusus tetap ada meski memiliki kekurangan yang tampak
menonjol. Selain dari orang tua, peran pendidikan, dan guru dapat membuat anak
semakin belajar. Anak bagai kertas kosong ketika lahir dan diisi dengan kondisi
sekitarnya. Mari kita ciptakan lingkungan yang kondusif untuk anak berkebutuhan
khusus! Mereka ada dan tercipta, sebab Tuhan tidak pernah gagal membuat manusia
sesuai gambar dan rupa Tuhan.
Daftar
Pustaka
Balai Pengembangan Pendidikan Khusus,
(2015), Data Sekolah Inklusi, diakses
pada 26 April 2016 dari http://www.bpdiksus.org/v2/index.php?page=cari3
Ilmie, Irfan, (2009) Mengapa Harus Difabel?, diakses pada 24
April 2016 dari https://irfanaksara.wordpress.com/2009/04/07/mengapa-harus-difabel/
Pusat Data dan Statistik Pendidikan,
(2015), Statistik Sekolah Luar Biasa,
diakses pada 24 April 2016 dari http://publikasi.data.kemdikbud.go.id/uploadDir/isi_0D43285F-C0D4-4FD1-B723-54E8E0309A94_.pdf
Razak, Hamid Abdul, (2014) Fasilitas Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus Masih Rendah diakses pada 26 April 2016 dari http://www.solopos.com/2014/01/20/fasilitas-pendidikan-anak-berkebutuhan-khusus-masih-rendah-483411
Satrio, (2015), Inklusi Pendidikan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus diakses pada
25 April 2016 dari http://layanandisabilitas.wg.ugm.ac.id/index.php/profil/7-berita/43-inklusi-pendidikan-terhadap-anak-berkebutuhan-khusus
Youth Exchnge and Understanding,(-) Handbook of Difability, dikases pada 27
april dari http://www.yeu-international.org/download/Handbook_DIFABILITY.pdf
Tulisannya sangat mencerahkan. Terimakasih....
BalasHapus